nusakini.com--Ketika timbul perselisihan antara pengusaha dengan pekerja ataupun Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) dalam satu perusahaan (Perselisihan Hubungan Industrial), kedua belah pihak berkewajiban menempuh jalur perundingan bipartit untuk menyelesaikannya. Selain wajib, perundingan bipartit merupakan langkah pertama yang harus diambil jika terjadi perselisihan antar pihak. Hanya saja, sangat mungkin perselisihan tersebut tidak terselesaikan melalui jalur perundingan bipartit. Untuk menindak lanjutinya, kedua belah pihak dapat menempuh langkah mediasi. 

Mediasi merupakan salah satu langkah tripartit dalam menyelesaikan hubungan industrial masuk. Langkah tripartit merupakan langkah melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan perselisihan. Untuk itu, yang membedakan adalah masuknya pihak luar selain para pihak yang berselisih. Dalam bipatrit perundingan dilakukan terbatas pada pihak-pihak yang berselisih, sementara dalam mediasi, adanya pihak luar yaitu mediator yang masuk sebagai penengah untuk mencoba menyelesaikan perselisihan tersebut. 

Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan Hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih Mediator yang netral. Mediator disini adalah penganti institusi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (misal Disnaker) yang memenuhi syarat-syarat sebagai Mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk bertugas melalui mediasi. 

Mediasi menjadi wajib ketika instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan tersebut menawarkan kepada para pihak yang berselisih tidak memilih lembaga konsiliasi atau Arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan yang dihadapi para pihak (konsiliasi dan arbitrase dijelaskan pada pembahasan selanjutnya). Mediasi sendiri menggunakan mekanisme perundingan/musyawarah untuk mufakat. 

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), dijelaskan bahwa selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan, mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi. Adapun mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi dilaksanakan sebagai berikut: 

Penyelesaian melalui mediasi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan; 

1.Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir pada sidang mediasi guna diminta dan didengar keterangannya;

2.Bilamana ternyata dalam sidang mediasi tercapai kesepakatan, dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak, dengan disaksikan oleh mediator untuk kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak yang berselisih;

3.Bila ternyata dalam mediasi tidak tercapai kesepakatan, mediator membuat anjuran tertulis;

4.Mediator harus sudah mengeluarkan anjuran tertulis selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah sidang mediasi dilaksanakan;

5.Pihak-pihak yang berselisih harus sudah menyampaikan tanggapan atau jawaban secara tertulis atas anjuran mediator selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah anjuran mediator diterima;

6.Bila ternyata pihak-pihak yang berselisih tidak memberikan tanggapan atau jawaban tertulis, dianggap menolak anjuran mediator;

7.Dalam hal pihak-pihak yang berselisih dapat menerima anjuran mediator, selambat-lambatnya 3 (tiga) hari harus dibuatkan perjanjian Bersama untuk kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili hukum pihak-pihak yang berselisih untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran;

8.Dalam hal tidak tercapai kesepakatan dan atau pihak-pihak menolak anjuran mediator, salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pekerja/buruh bekerja. (p/ab)